Masyarakat Papua Tegaskan Tolak Keberadaan OPM

Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukanlah representasi dari aspirasi masyarakat Papua secara keseluruhan. Masyarakat Papua menegaskan bahwa OPM adalah sekumpulan pengkhianat bangsa yang menghalangi upaya pemerintah dalam membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi Papua.

Masyarakat Papua juga mengecam keberadaan OPM. Organisasi itu hanya mengejar kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu yang ingin memecah belah bangsa dan menimbulkan kerusuhan demi kepentingan pribadi. Mereka menilai bahwa OPM tidak memiliki legitimasi moral atau politik untuk mengklaim diri sebagai perjuangan kemerdekaan Papua, karena sebagian besar masyarakat Papua menolak tindakan kekerasan dan separatisme.

Aksi-aksi terror yang masih dalam beberapa bulan terakhir ini membuat masyarakat mengutuk keras atas ulah OPM yang menembak Orang Asli Papua (OAP) bernama Senus Lepitalen di Distrik Borne, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Insiden ini menambah ketegangan di wilayah tersebut, yang telah lama menjadi area konflik antara TPNPB-OPM dan pemerintah Indonesia.

Kepala Satuan Tugas Hubungan Masyarakat Operasi Damai Cartenz, Ajun Komisaris Besar Bayu Suseno, dengan tegas membantah tuduhan bahwa Senus Lepitalen adalah anggota intelijen pemerintah Indonesia. Pihaknya juga menjelaskan bahwa alibi OPM dalam membunuh masyarakat sipil adalah beralasan intel TNI. Padahal realitasnya mereka masyarakat sipil yang juga membutuhkan perlindungan.

Bayu menjelaskan bahwa Senus Lepitalen sebelumnya pernah menjadi korban kekerasan oleh TPNPB-OPM. Tahun lalu, Senus adalah salah satu korban dalam insiden penganiayaan dan penyanderaan yang melibatkan karyawan PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (PT IBS) di Distrik Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang, pada 12 Mei 2023.

Penembakan Senus Lepitalen terjadi pada Kamis pagi, 6 Juni 2024. Saat itu, Senus sedang berada di depan perapian rumahnya untuk menghangatkan diri ketika ia mendengar suara ketukan pintu. Begitu ia membuka pintu, ia langsung ditembak dengan senjata api laras pendek di bagian dada.

Insiden ini menambah daftar panjang kekerasan di wilayah Pegunungan Bintang yang telah lama menjadi pusat konflik antara TPNPB-OPM dan aparat keamanan Indonesia. Konflik yang berkepanjangan ini mencerminkan kompleksitas situasi di Papua, di mana tuntutan kemerdekaan dan upaya mempertahankan kedaulatan oleh pemerintah Indonesia terus berbenturan. Masyarakat sipil sering kali menjadi korban dalam ketegangan ini, baik melalui penindakan oleh aparat maupun aksi kekerasan oleh kelompok bersenjata.

Ketua II Pemuda Adat Saireri, Ali Kabiay, mengatakan perjuangan OPM saat ini tidak murni membela orang Papua. Negara lain sedang bersaing dalam perang ekonomi, OPM masih sibuk melakukan kekerasan dan teror bahkan kepada orang Papua sendiri.

Selain itu, Ketua Barisan Merah Putih Provinsi Papua, Max Abner Ohee memberikan pernyataan sikap menolak OPM di Tanah Papua karena telah banyak memakan korban dan meminta aparat keamanan baik itu TNI maupun Polri untuk mengejar dan melakukan penindakan hukum terhadap para pelaku.

Pemerintah terus berupaya untuk menegakkan kedaulatan negara dan menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai cara, termasuk dialog politik dan pembangunan ekonomi. Namun, tantangan yang dihadapi tetap besar mengingat kompleksitas konflik dan beragamnya pandangan di antara masyarakat Papua sendiri.

Di sisi lain, terdapat upaya-upaya dari berbagai pihak, baik lokal maupun internasional, untuk memediasi konflik Papua dan mencari solusi yang berkelanjutan. Dialog antara pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Papua terus dilakukan meskipun dengan tantangan yang besar. Pihak-pihak internasional juga turut terlibat dalam mendorong dialog damai dan pemecahan masalah di Papua.

Lebih dari itu, masyarakat Papua yang menentang OPM menyoroti dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas organisasi tersebut. Konflik bersenjata antara OPM dan aparat keamanan Indonesia telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat sipil, dengan korban jiwa dan kerugian materiil yang tidak terhitung jumlahnya. Rumah-rumah terbakar, infrastruktur hancur, dan keluarga terpisah karena kekerasan yang tidak pernah berujung.

Tidak hanya itu, keberadaan OPM juga telah menghalangi pembangunan dan investasi di Papua. Investor dan pengusaha enggan menanamkan modalnya di wilayah yang terus menerus dilanda ketegangan dan kekhawatiran akan keamanan. Akibatnya, lapangan pekerjaan yang seharusnya dapat diciptakan untuk masyarakat Papua menjadi terhambat, meninggalkan banyak orang Papua terjebak dalam kemiskinan dan ketidakpastian.

Terkait dengan aspek keamanan, masyarakat Papua yang menolak OPM menyatakan bahwa organisasi ini merupakan ancaman nyata bagi stabilitas wilayah. Tindakan teror dan intimidasi yang dilakukan oleh anggota OPM telah menciptakan ketakutan dan kecemasan di antara masyarakat, menghambat kehidupan sehari-hari dan mengganggu ketenangan yang seharusnya mereka nikmati.

Dalam konteks ini, masyarakat Papua menegaskan bahwa mereka tidak akan mentolerir keberadaan OPM di wilayah mereka. Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan tegas dalam memberantas OPM dan mengembalikan kedamaian serta keamanan bagi seluruh warga Papua. Selain itu, mereka juga mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersatu melawan separatisme dan ekstremisme yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan demikian, sikap penolakan masyarakat Papua terhadap keberadaan OPM merupakan suatu bentuk keberanian dan kesadaran akan pentingnya mempertahankan kedaulatan dan persatuan bangsa. Mereka bukanlah pasif dalam menghadapi ancaman yang mengintai, tetapi dengan suara lantang dan tegar, mereka menegaskan bahwa Papua adalah bagian integral dari Indonesia yang tidak akan pernah terpisahkan.